HUKUM ISLAM TENTANG ALKOHOL DI DALAM PENGOBATAN
A. Pendapat
Ulama yang Membolehkan Penggunaan Alkohol untuk Obat
Alkohol terdapat di banyak bahan makanan dan minuman
dengan kadar yang berbeda-beda. Alkohol itu bukanlah zat yang kotor, karena ia dipergunakan
untuk bahan pembersih. Dan seringnya alkohol dipakai untuk kepentingan medis,
kebersihan dan lainnya menjadikan pendapat yang menajiskan alkohol sebagai
sesuatu yang berat, dan itu bertentangan dengan nash Alquran.
Salah
satu permasalahan dalam pengobatan, kosmetik maupun makanan adalah status
alkohol. Alkohol merupakan senyawa yang ditetapkan sebagai cairan yang
diharamkan. Lalu bagaimana jika dijadikan obat, sebagai alat kosmetik, atau
makanan.
Alhamdulillah,
para ulama besar abad ini telah berbicara tentang permasalahan alkohol, maka di
sini kita nukilkan fatwa-fatwa mereka. Terdapat perbedaan ijtihad di antara
mereka dalam memandang permasalahan ini.
Dari
segi kimia, Achmad Mursyidi, Dalam seminar “Titik Kritis Kehalalan Bahan Farmasi
dalam Obat, Kosmetik, dan Makanan" Menjelaskan:
Adanya
perbedaan makna alkohol dalam dunia farmasi dan bagi masyarakat awam. Di dalam
dunia farmasi, alkohol merupakan senyawa yang mengandung gugus OH. Sementara
menurut masyarakat awam, yang dimaksud dengan alkohol adalah khamar atau
minuman yang memabukkan.
Alkohol
dalam dunia farmasi sering digunakan sebagai pelarut pada berbagai produk.
bahwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) telah memutuskan batas maksimal alkohol
dalam suatu produk adalah satu persen.
Sementara
itu, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Asy-Syaikh Al-Albani berpendapat bahwa pada
permasalahan ini ada rincian, sebagaimana yang akan di simak dengan jelas dari
fatwa keduanya. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ cetakan
Darul Atsar, berkata:
“Bagaimana
menurut kalian tentang sebagian obat-obatan yang ada pada masa ini yang
mengandung alkohol, terkadang digunakan pada kondisi darurat? Kami nyatakan:
Menurut kami, obat-obatan ini tidak memabukkan seperti mabuk yang diakibatkan
oleh khamr, melainkan hanya berefek mengurangi kesadaran penderita dan
mengurangi rasa sakitnya. Jadi ini mirip dengan obat bius yang berefek
menghilangkan rasa sakit (sehingga penderita tidak merasakan sakit sama sekali)
tanpa disertai rasa nikmat dan terbuai.
Telah
diketahui bahwa hukum yang bergantung pada suatu ‘illat, jika ‘illat
tersebut tidak ada maka hukumnya pun tidak ada. selama ‘illat suatu
perkara dihukumi khamr adalah “memabukkan”, sedangkan obat-obatan ini tidak
memabukkan, berarti tidak termasuk kategori khamr yang haram. Wajib untuk
mengetahui perbedaan antara pernyataan: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan maka
sedikitnya pun haram” dengan pernyataan: “Sesuatu yang memabukkan dan dicampur
dengan bahan yang lain maka haram.” Karena pernyataan yang pertama artinya
minuman itu sendiri (adalah merupakan khamr), apabila minum banyak tentu anda
mabuk, dan apabila anda minum sedikit maka anda tidak mabuk, namun Rasulullah
mengatakan “Sedikitnya pun haram.” (Kenapa demikian padahal yang sedikit
tersebut tidak memabukkan) Karena itu merupakan dzari’ah (artinya bahwa yang
sedikit itu merupakan wasilah/ perantara yang akan menyeret pelakunya sampai
akhirnya dia minum banyak, sehingga diharamkan).
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al Utsaimin menjelaskan:
“Adapun
beberapa obat yang menggunakan campuran alkohol, maka itu tidaklah haram selama
campuran tersebut sedikit dan tidak nampak memberikan pengaruh”.
Obat
yang mengandung alkohol ini dibolehkan karena adanya istihlak. Yang
dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis
dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga
menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa,
warna dan baunya.
Alasannya
adalah dua dalil berikut: Hadis pertama, Rasulullah saw bersabda:
اِنَّ اْلمَاءَ
طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ. (رواه احمد)
Hadis kedua,
Rasulullah saw bersabda:
إِذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلِ الْخَبَثَ. (رواه ابن خزيمة والحاكم)
Artinya: ”Jika air
telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)”.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
Dua hadis di atas menjelaskan bahwa
apabila benda yang najis atau haram bercampur dengan air suci yang banyak,
sehingga najis tersebut lebur tak menyisakan warna atau baunya, maka dia
menjadi suci. Jadi suatu saat air yang najis, bisa berubah menjadi suci jika
bercampur dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya
berada dalam keadaan najis tanpa perubahan.
Tepatlah perkataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah:
“Siapa saja
yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan memahami
rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa pendapat inilah yang
lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair yang tidak mungkin
mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini sungguh bertentangan dengan
dalil dan akal sehat.”
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin juga mengatakan:
“Begitu pula khomr apabila dia bercampur
dengan zat lain yang halal dan tidak memberikan pengaruh apa-apa, maka campuran
yang ada akan tetap halal”.
Di samping itu pula selain karena
alasan istihlak sebagaimana dijelaskan di atas, obat yang mengandung
alkohol diperbolehkan karena illat (sebab) seperti yang ada pada khamr
tidak ada lagi, unsur memabukkan. Padahal hukum berputar sesuai dengan ada
tidaknya illat (sebab). Hal ini telah disebutkan dalam kaidah ushul fiqh.
اَلْحُكْمُ يَدُوْرُ مَعَ عِلَّتِهِ
وُجُوْدًا وَعَدَمًا
Artinya: “Hukum
itu mengikuti keberadaan ‘illah (alasannya). Jika ada ‘illahnya, hukum itu ada.
Jika ‘illah tidak ada maka hukumnya pun tidak ada.”
Jika khamar itu najis
maka pasti Nabi memerintahkan membersihkan peralatan atau gelas untuk meminum
khamar itu sebagaimana beliau memerintahkan untuk membersihkan peralatan itu
ketika mengharamkan al-humur al-ahliyyah. Berdasarkan pendapat ini,
boleh menggunakan alkohol untuk campuran parfum, minyak wangi, membersihkan ( sterilisasi
), obat luar, dan sebagainya karena ia bukan benda najis.
KH Ali Yafie menjawab pertanyaan:
Khamr
berbeda dengan alkohol. Keduanya tidak bisa disamakan. Karena itu, sesuatu yang
dipermentasikan sehingga mengandung alkohol di dalamnya tidak lantas
dikategorikan sebagai khamr. Selagi hasil permentasi tersebut belum menjadi
khamr, makanan tersebut tetap boleh dimakan ( tape misalnya ). Sebab sesuatu
yang mengandung alkohol belum tentu termasuk dalam kategori khamr.
Alkohol yang digunakan
untuk keperluan medis tidak masalah asalkan proporsional dan dilakukan oleh
ahlinya. Sebagian besar ulama tidak memasukkan alkohol sebagai barang najis
karena bukan khamr. Jadi boleh saja untuk keperluan medis, begitu pula parfum
yang mengandung campuran alkohol.
Kemudian menurut Ahmad Zain An
Najah, mengungkapkan bahwa:
Pada
dasarnya segala bentuk pengobatan dibolehkan, kecuali jika mengandung hal-hal
yang najis atau yang diharamkan syariah. Untuk obat-obatan yang mengandung
alkohol, selama kandungannya tidak banyak serta tidak memabukkan, maka hukumnya
boleh.
Adapun dasar
dari penetapan hukum ini adalah sebagai berikut:
1.
Bahwa yang menjadi ‘illat
(alasan) pengharaman khamr adalah karena memabukkan. Jika faktor ini hilang,
haramnya pun hilang.
2. Unsur
alkohol dalam obat tersebut sudah hancur menjadi satu dengan materi lain,
sehingga ciri fisiknya menjadi hilang secara nyata. Para ulama menyebutnya dengan
istilah Istihlak, yaitu bercampurnya benda najis atau haram dengan benda
lainnya yang suci atau halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan
sifat najis dan keharaman benda yang najis tersebut. Hal ini berdasarkan hadis
Rasullullah saw bahwa beliau bersabda:
إذَا كَانَ
الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ. (رواه ابن خزيمة والحاكم)
Artinya: “Jika
air telah mencapai dua kullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran (najis)”.
(HR. Ibnu Khuzaimah dan Hakim)
Hal ini sama
dengan setetes air kencing bercampur dengan air yang sangat banyak, air itu
tetap suci dan menyucikan selama tidak ada pengaruh dari air kencing tersebut.
Begitu juga khamar jika sudah bercampur dengan zat-zat lain yang suci dan
halal, maka alkohol itu menjadi halal, selanjutnya meminum air dalam bejana
yang ada campuran setetes khamr, akan dikatakan dia meminum air dari bejana dan
tidak dikatakan dia minum khamr dari bejana. Hukum ini berlaku bagi obat yang
ada campuran dengan alkohol.
3.
Bahwa alkohol tidaklah identik dengan
khamr. Tidak setiap khamr itu alkohol, karena ada zat-zat lain yang memabukkan
selain alkohol. Begitu juga sebaliknya, tidak setiap alkohol itu khamr. Menurut
sebagian kalangan bahwa jenis alkohol yang bisa memabukkan adalah jenis etil
atau etanol. Begitu juga khamr yang diharamkan pada zaman Nabi saw bukanlah
alkohol, tapi jenis lain.
4.
Menurut sebagian ulama bahwa khamr
tidaklah najis secara lahir, tapi najis secara maknawi. Artinya, bukanlah
termasuk benda najis seperti benda-benda lainnya secara umum. Sehingga alkohol
boleh dipakai untuk pengobatan luar.
Adapun obat bius tidaklah demikian,
karena yang memakainya tidaklah menikmatinya dan tidak merasakan senang dengan
obat bius tersebut. Demikian juga obat bius ini menjadikan orang tidak sadar alias
pingsan. Kalau khamr yang memabukkan tidaklah menjadikiannya pingsan tapi
justru dia menikmatinya, sehingga menjadikannya terus menerus ketagihan
terhadap minuman tersebut.
Selanjutnya Syaikh Muhammad Rosyid
Ridho dalam Fatwanya yang dinukil oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin.
Yang mengatakan bahwa:
“Alkohol
adalah zat yang suci dan mensucikan. Alkohol merupakan zat yang sangat urgen
dalam dunia farmasi dan pengobatan dalam kedokteran serta pabrik-pabrik.
Alkohol telah tercampur dalam banyak obat-obatan. Pengharaman penggunaan alkohol
bagi kaum muslimin menghalangi mereka untuk bisa menjadi pakar dalam banyak
bidang ilmu dan teknologi. Hal ini malah akan menyebabkan orang-orang kafir
unggul atas kaum muslimin dalam bidang kimia, farmasi, kedokteran, pengobatan,
dan industri. Pengharaman penggunaan alkohol bisa jadi merupakan sebab terbesar
meninggalnya orang-orang yang sakit dan yang terluka atau menyebabkan lama
sembuh atau semakin parah.
B. Pendapat
Ulama Yang Mengharamkan Penggunaan Alkohol untuk Pengobatan
Abdul
Hamid Hakim dalam As-Sulam mengatakan:
Telah
disinggung bahwa khamr adalah najis (meski ada perbedaan pendapat dalam hal
ini). Sebagai implikasinya, alkohol (etanol) sebagai zat yang memabukkan dalam
khamr, hukumnya najis juga. Hal ini sesuai kaidah fiqih : At-Taabi’
Taabi’ (Hukum bagi yang mengikuti, adalah mengikuti (sama dengan)
hukum yang diikuti). Dengan menerapkan kaidah itu, kita tahu bahwa khamr
hukumnya najis. Maka, etanol sebagai bagian dari khamr, hukumnya mengikuti
khamr dari segi kenajisannya. Jadi, etanol hukumnya mengikuti hukum khamr.
Seperti telah
dijelaskan di atas dalam prinsip di atas, berobat dengan benda
najis dan haram hukumnya adalah haram.
Dengan demikian, jelaslah bahwa penggunaan alkohol meskipun najis dalam rangka
pengobatan berdosa, sebab hukumnya haram.
Atas dasar itu, maka
penggunaan berbagai bahan yang najis dan haram, Hukumnya haram. Misalnya,
menggunakan alkohol sebagai desinfektan klinis, sebagai pembersih kulit sebelum
diinjeksi, sebagai pelarut bahan obat, dan sebagainya. Termasuk juga dalam hal
ini, segala macam benda najis lainnya di luar alkohol. Misalnya penggunaan
selongsong kapsul dari bahan babi, penggunaan urine sebagai sarana terapi, dan sebagainya.
Namun karena ada
pendapat dari umat Islam yang mengharamkan penggunaan benda najis untuk
berobat, sebaiknya sebisa mungkin kita hanya menggunakan bahan yang suci dan
halal dalam dunia obat-obatan. Kalaupun mengikuti pendapat yang mengharamkan, kita
disunnahkan menggunakan bahan yang bukan najis, sebagai upaya untuk
menghindarkan diri dari perselisihan. Kaidah fiqih menyatakan: Al-Khuruj
minal Khilaaf mustahab (Menghindarkan diri dari perselisihan
pendapat, adalah disunnahkan).
Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad
Al-Makassari mengungkapkan bahwa:
Alkohol yang
digunakan untuk disinfeksi alat-alat medis termasuk najis bahwa alkohol
merupakan bahan memabukkan yang merupakan inti dari khamr, sehingga haram bagi
seorang muslim untuk memiliki alkohol dengan cara apa pun, baik dengan
membuatnya sendiri, membelinya, atau dengan cara yang lain.
Desinfeksi alat-alat medis bukanlah
alasan yang ditolerir untuk bisa menggunakan alkohol, dengan dua alasan:
1.
Rasulullah saw bersabda:
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ. (رواه مسلم)
Beliau mengatakan hal ini ketika Thariq bin Suwaid
Al-Ju’fi bertanya tentang pembuatan khamr untuk pengobatan. Dan masih ada
hadis-hadis lainnya yang menunjukkan haramnya pengobatan dengan sesuatu yang
haram.
2. Kondisi darurat yang dengan itu diperbolehkan
menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua persyaratan.
sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Rahimahullah dalam Asy-Syarhul
Mumti’
a.
Seseorang terpaksa menggunakannya
jika tidak ada alternatif lain.
Padahal fakta membuktikan bahwa penanganan medis
bukanlah satu-satunya alternatif kesembuhan. Karena tidak sedikit penderita
yang sembuh tanpa penanganan medis. Melainkan hanya dengan rutin mengkonsumsi
obat-obat nabawi atau ramuan-ramuan tertentu disertai kesungguhan dalam
menghindari pantangan penyakit yang dideritanya. Anggaplah pada kondisi darurat
tertentu terkadang seseorang terpaksa harus menjalani penanganan medis, masih
banyak alternatif lain selain alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.
Adapun najis atau tidaknya alkohol, maka ini kembali
kepada permasalahan najis atau tidaknya khamr. Jumhur ulama, termasuk imam yang
empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad rahimahumullah) berpendapat
bahwa khamr adalah najis. Ini dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
Mereka berdalilkan firman Allah swt:
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, hanyalah sesungguhnya khamr, judi, patung-patung yang
disembah, dan azlam1 adalah rijs, merupakan amalan setan...”.
(Al-Ma`idah(5): 90)
Terdapat perbedaan ijtihad di antara
mereka dalam memandang permasalahan ini. Asy-Syaikh Ibnu Baz Rahimahullah
berpendapat bahwa:
Sesuatu yang
telah bercampur dengan alkohol tidak boleh dimanfaatkan, meskipun kadar
alkoholnya rendah, dalam arti tidak mengubahnya menjadi sesuatu yang
memabukkan. Karena hal ini tetap masuk
dalam hadis.
مَا أَسْكَرَ
كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ) .رواه احمد)
Tentang obat-obatan yang sebagiannya
mengandung bahan pembius dan sebagian lainnya mengandung alkohol, dengan
perbandingan kadar campuran yang beraneka ragam, maka beliau menjawab:
“Obat-obatan
yang memberi rasa lega dan mengurangi rasa sakit penderita, tidak mengapa
digunakan sebelum dan sesudah operasi. Kecuali jika diketahui bahwa obat-obatan
tersebut dari “Sesuatu yang banyaknya memabukkan” maka tidak boleh digunakan
berdasarkan sabda Nabi saw: “Sesuatu yang banyaknya memabukkan, maka
sedikitnyapun haram.”
Fatwa Asy-Syaikh Al-Albani yang sangat
rinci. Beliau berkata: Untuk memahami makna hadis: “Sesuatu yang banyaknya
memabukkan, maka sedikitnyapun haram.”
Mari mendatangkan
contoh: Kalau ada 1 liter air yang mengandung lima puluh gram bahan memabukkan
yang kita namakan alkohol, maka cairan ini yang tersusun dari air dan alkohol berubah
menjadi memabukkan. Namun jika seseorang minum sedikit maka dia tidak akan
mabuk. Lain halnya jika dia minum dengan kadar yang lazim diminum oleh
seseorang maka dia akan mabuk, dengan demikian menjadilah yang sedikit tadi
haram. Sebaliknya, kalau ada 1 liter air mengandung lima gram alkohol
(misalnya). Jika seseorang minum 1 liter air tersebut sampai habis dia tidak
mabuk, maka yang seperti ini halal untuk diminum.
Selanjutnya, apakah boleh bagi
seorang muslim mengambil satu liter air kemudian menumpahkan lima gram alkohol
ke dalamnya dengan alasan bahwa lima gram alkohol tersebut tidak mengubah satu liter
air yang ada menjadi memabukkan? Jawabannya: Tidak boleh. Kenapa tidak boleh?
Karena tidak boleh bagimu untuk memiliki bahan yang memabukkan yang merupakan
inti dari khamr, yaitu alkohol. Jadi kegiatan mencampur alkohol dengan bahan
lain tidak boleh dalam syariat Islam.
Telah kami nyatakan bahwa
obat-obatan yang ada di apotek-apotek pada masa ini bahkan boleh jadi
kebanyakannya mengandung alkohol, atau tertera padanya tulisan perbandingan kadar
alkoholnya: lima gram, sepuluh gram. Apakah kita mengatakan bahwa obat-obatan
ini jika diminum seorang sehat ataupun sakit dengan kadar yang banyak dan
ternyata dia mabuk, berarti tidak boleh digunakan karena memabukkan, meskipun dia
hanya menelan satu sendok saja, Inilah yang dimaksudkan dengan hadis “Sesuatu
yang banyaknya memabukkan maka sedikitnya pun haram.” Adapun jika perbandingan
alkoholnya sedikit dalam arti berapapun yang dia minum tidak menjadikannya
mabuk maka boleh menggunakannya, meskipun dia minum banyak.
Namun perkara lain (yang penting
untuk diingat) sama dengan apa yang telah di sebutkan sebelumnya, bahwa
obat-obatan yang mengandung alkohol dengan perbandingan yang tidak melanggar syariat
sesuai dengan rincian yang disebutkan, tidak boleh bagi seorang apoteker muslim
untuk meracik obat yang seperti itu. Karena tidak boleh ada alkohol di rumah
seorang muslim ataupun di tempat kerjanya. Haram baginya untuk membelinya atau
membuatnya sendiri. Dan ini perkara yang jelas karena Rasulullah bersabda:
لَعَنَ اللهُ
فِي الْخَمْرِ عَشَرَةً…( رواه ابن ما جه والترمذى )
Seorang apoteker yang hendak meracik
obat dan mencampurnya dengan alkohol yang memabukkan itu, baik dengan cara
membuat alkohol sendiri (dengan proses pembuatan tertentu) atau membeli alkohol
yang sudah jadi, termasuk dalam salah satu dari 10 jenis orang yang dilaknat
dalam hadits tersebut. Lain halnya apabila seseorang membeli obat yang sudah
jadi, dengan kadar alkohol yang rendah yang tidak menjadikan banyaknya obat
tersebut memabukkan, maka ini boleh.
Uthman Ibn Affan menghubungkan suatu
cerita yang mengungkapkan alkohol sebagai zat yang sangat berbahaya bahwa
hampir menjadi kunci dari semua kejahatan.
C. Perbandingan
antara Ulama yang Membolehkan dengan Ulama yang Mengharamkan
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Alquran dan Hadis
adalah sumber hukum Islam dimana Alquran merupakan sumber hukum utama dan
tertinggi. Sumber-sumber hukum selain Alquran dan Hadis tidak seluruhnya dapat
diterima oleh seluruh ulama Ushul Fiqh secara bulat, sumber-sumber hukum
tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tidak diperdebatkan
dan yang diperdebatkan. Sumber hukum yang tidak diperdebatkan atau diterima
oleh seluruh ulama adalah ijma’ dan qiyas. Sedangkan sumber hukum
yang masih menjadi perdebatan adalah sumber hukum selain ijma’ dan qiyas.
Perbedaan terjadi dikarenakan perbedaan metode atau tata cara merumuskan hukum
atas suatu perbuatan atau permasalahan, terutama pada perbuatan atau masalah
yang tidak disebutkan atau diatur secara rinci dalam Alquran dan Hadis.
Ada perbedaan pendapat
(khilafiyah) di kalangan ulama, mengenai hukum berobat (at-tadaawi/al-mudaawah)
dengan Alkohol. Termasuk dalam hal ini berobat dengan obat yang mengandung
alkohol (etanol), sebab alkohol masih ada perbedaan pendapat di kalangan para
ulama, ada yang mengatakan alkohol itu haram dan najis serta ada yang mengatakan
alkohol tidak haram serta bukan najis. Ada yang mengharamkan berobat dengan
alkohol seperti Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. Ada yang membolehkan seperti ulama
Hanafiyah. Ada yang membolehkan dalam keadaan darurat, seperti Yusuf
Al-Qaradhawi. Ada pula yang memakruhkannya, seperti Taqiyuddin An-Nabhani.
Berikut
merupakan perbandingan yang penulis lakukan:
1.
Pendapat yang membolehkan dengan
alasan:
a.
Karena adanya ‘illah
sesuatu di hukumi khamar karena memabukkan.
b.
Obat yang mengandung alkohol ini
dibolehkan karena adanya istihlak. Yang dimaksud dengan istihlak
adalah bercampurnya benda haram atau najis dengan benda lainnya yang suci dan
halal yang jumlahnya lebih banyak sehingga menghilangkan sifat najis dan
keharaman benda yang sebelumnya najis, baik rasa, warna dan baunya.
c.
Hadits nabi Sesuatu yang apabila
banyaknya memabukkan, maka meminum sedikitnya dinilai haram makna hadits yang
sebenarnya adalah jika sesuatu diminum dalam jumlah banyak sudah memabukkan,
maka kalau diminum dalam jumlah sedikit tetap dinilai haram.
d.
Alkohol bukan benda yang najis.
e.
Alkohol bukan satu-satunya zat
yang memabukkan.
f.
Jenis alkohol yang bisa memabukkan
adalah jenis etil atau etanol. Begitu juga khamr yang diharamkan pada zaman
Nabi SAW bukanlah alkohol, tapi jenis lain.
g.
Alkohol telah tercampur dalam
banyak obat-obatan. Pengharaman penggunaan alkohol bagi kaum muslimin
menghalangi mereka untuk bisa menjadi pakar dalam banyak bidang ilmu dan
teknologi.
2.
Pendapat yang mengharamkan dan
yang memakruhkan dengan alasan:
a.
Khamr adalah najis. Sebagai
implikasinya, alkohol (etanol) sebagai zat yang memabukkan dalam khamr,
hukumnya najis juga.
b.
Alkohol yang digunakan untuk
disinfeksi alat-alat medis termasuk najis bahwa alkohol merupakan bahan
memabukkan yang merupakan inti dari khamr
c.
Hadits nabi yang menyatakan Sesungguhnya
khamr itu bukan obat, melainkan penyakit.
d.
Haram hukumnya berobat dengan
barang haram atau najis.
e.
Kondisi darurat yang dengan itu
diperbolehkan menggunakan sesuatu yang haram, adalah jika memenuhi dua
persyaratan.
f.
Masih banyak alternatif lain
selain alkohol untuk disinfeksi alat-alat medis.
g.
Jumhur ulama, termasuk imam yang
empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad) berpendapat bahwa khamr
adalah najis.
Terdapat dua kelompok
hadis yang nampak bertentangan (ta’arudh) dalam masalah ini. Di satu
sisi, ada hadis-hadis yang melarang berobat dengan
benda yang haram dan najis, misalnya
hadis Rasulullah saw bersabda:
اِنَّ
اللهَ اَنْزَلَالدَّاءَوَالدَّوَاءَفَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍدَوَاءٌفَتَدَاوَوْاوَلَاتَتَدَاوَوْابِحَرَامٍ. (رواه
ابوداود)
Artinya:
“Allah telah menurunkan penyakit dan obat, serta menjadikan obat bagi setiap
penyakit; maka, berobatlah dan janganlah berobat dengan benda yang haram.” (HR.
Abu Daud).”
إِنَّهُ لَيْسَ بِدَوَاءٍ وَلَكِنَّهُ دَاءٌ. (رواه مسلم)
Di sisi lain, ada hadis-hadis yang
membolehkan berobat dengan benda najis dan haram. Misalnya hadis:
Bahwa Nabi saw membolehkan suku
‘Ukl dan ‘Uraynah berobat dengan meminum air kencing unta. (HR Muslim).
Hadis
ini membolehkan berobat dengan najis, sebab air kencing unta itu najis. Dalam
hadis lain dari Anas ra:
Rasulullah saw memberi keringanan
(rukhsah) kepada Zubair bin Al-‘Awwam dan Abdurrahman bin Auf untuk
memakai kain sutera karena menderita penyakit gatal-gatal. (HR Bukhari dan
Muslim).
Hadis ini membolehkan berobat dengan benda
yang haram (dimanfaatkan), sebab sutera haram dipakai oleh laki-laki, sebagaimana
diriwayatkan dalam hadis lain dalam riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan
At-Tirmidzi.
Di sinilah lalu mengkompromikan (menjama’)
kedua kelompok hadis di atas. Menurut penulis, sabda Nabi saw untuk tidak
berobat dengan yang haram tidak otomatis menunjukkan keharaman, tapi sekedar
menunjukkan tuntutan (thalab) untuk meninggalkan perbuatan. Sedangkan
dua hadis di atas yang membolehkan berobat dengan benda najis dan haram, dijadikan
qarinah (petunjuk) yang memperjelas sifat tuntutan tersebut. Kesimpulannya,
tuntutan tersebut adalah tuntutan (thalab) yang tidak tegas (ghairu
jazim), sehingga hukum syara’ yang diistinbath adalah makruh, bukan haram. Dengan
demikian, berobat dengan suatu materi yang zatnya najis, atau zat yang haram
untuk dimanfaatkan, hukumnya adalah makruh.
Berobat dengan sesuatu yang berbahaya Dalam hal ini
sering kita dapatkan macam obat-obatan yang menggunakan sesuatu yang berbahaya
seperti Alkohol, baik yang bentuknya cair atau tablet, padahal itu semua sangat
di butuhkan dalam pengobatan.
1. Apabila
tidak di dapatkan ganti (obat lain yang halal). Apabila tidak di dapatkan obat
yang lain kecuali obat tersebut maka boleh untuk menggunakanya, dengan melihat
pada bahaya sakit tersebut.
2. Apabila di
dapatkan pengganti dari obat tersebut atau belum sampai derajat darurat. Maka
dalam keadaan seperti ini perlu di deteksi kembali, apabila bahan yang haram
tersebut sudah larut atau hancur bersama bahan yang lain dan tidak ada bekas
yang di timbulkannya baik rasa maupun baunya maka obat ini dapat di gunakan/
dikonsumsi.
Dari sini
dapat di simpulkan, bahwa menurut penulis bahwa apabila najis atau sesuatu yang
menjijikan serta seluruh barang haram seperti Alkohol atau lainnya apabila
bercampur dengan obat-obat yang diperbolehkan atau dimasak bersama obat yang
halal kemudian bahan yang haram atau najis ini hancur dengan tidak meninggalkan
bekas, rasa maupun baunya, maka dalam keadaan ini ia sama seperti obat yang
diperbolehkan lainnya. Namun jika tidak dapat hancur atau ia masih lebih
dominan daripada obat yang diperbolehkan maka ia menjadi obat yang haram, ia
hanya dapat di gunakan apabila sudah dalam keadaan darurat.
Dalam kaidah ushul fiqih dikatakan :
"Apabila satu perkara telah menjadi sempit maka
ia menjadi lapang. Dan apabila sesuatu itu telah menjadi lapang maka ia berubah
menjadi sempit "
Dua kaidah ini menjelaskan bahwa apabila telah sampai
derajat darurat maka setiap yang haram berubah mejadi halal dan apabila ia
telah lapang maka sesuatu tersebut berubah menjadi haram kembali.
Sedangkan alkohol menurut penulis adalah sesuatu yang
tidak identik dengan Khamar, ia menjadi khamar apabila sudah membahayakan bagi
orang yang mengonsumsinya seperti mabuk, kecanduan, hilang kesadaran dan
lain-lainnya, Karena kita dilarang merusak tubuh kita
sendiri, Allah swt berfirman:
Artinya: Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan
Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan
berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat
baik.
(Q.S Al-Baqarah(2): 195).
Agama Islam adalah agama yang mudah dan tidak
kaku, Allah tidak menghendaki kesulitan kepada hambanya. Allah swt berfirman:
Artinya:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim
dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,
Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik-
baik penolong. (Q.S
Al-Hajj(22): 78).
Dan perlu kami tekankan sekali lagi, alkohol
yang jelas-jelas diharamkan adalah alkohol yang sifatnya memabukkan. Dalil pengharamannya
terdapat dalam Alquran Alkarim. Allah swt berfirman:
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman,
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). (QS. Al Ma-idah(5):
90-91).
Yang dimaksudkan dengan khomr
dalam ayat di atas dijelaskan dalam sabda Nabi saw:
كُلُّ
مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ. (رواه مسلم)
Jadi, khomr adalah segala sesuatu
yang memabukkan. Oleh karenanya, semua minuman keras menjadi haram dikarenakan
definisi ini, baik itu bir, wiski, vodka, rhum, dan lainnya. Inilah yang
jelas-jelas haramnya. Walaupun itu diminum satu tetes dan tidak menimbulkan
mabuk karena sedikit, tetap dinilai haram, berdasarkan sabda Nabi saw:
مَا أَسْكَرَ
كَثِيْرُهُ فَقَلِيْلُهُ حَرَامٌ) .رواه احمد)
Artinya: “Sesuatu
yang apabila banyaknya memabukkan, maka meminum sedikitnya dinilai haram”.
(HR. Ahmad)
Artinya jika miras dalam jumlah
banyak diminum bisa memabukkan, maka minum satu tetes saja tetap haram walaupun
itu tidak memabukkan. Sedangkan alkohol tidak bisa di katakan haram. Karena
sekali lagi, illat (sebab) pelarangan khamr adalah karena memabukkan dan
bukan sekedar alkohol atau etanol yang terkandung di dalamnya. Begitu pula
dalam Alquran dan Al Hadis tidak pernah sama sekali mengharamkan alkohol atau
etanol, yang diharamkan adalah khomr.
Oleh karenanya, untuk alkohol kembalikan
ke kaedah, “Hukum asal segala sesuatu adalah halal”. Dasarnya adalah firman
Allah:
Artinya: Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada
di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya
tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.
(QS. Al Baqarah(2): 29).
Artinya:
Katakanlah: "Siapakah yang
mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk
hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam
kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah
Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. Al A’rof(7):
32).
Perbedaan alkohol (etanol) dan
minuman beralkohol (arak) sangat jelas kita lihat dari reaksinya:
- Alkohol (etanol) dibentuk dari petrokimia (proses dari bahan bakar fosil) melalui hidrasi etilena.
- Minuman beralkohol (arak) dibentuk dari melalui fermentasi gula dengan ragi.
Perbedaan khas lainnya antara etanol
dan minuman beralkohol, yaitu asalnya, etanol murni atau etanol kadar tinggi
tidak bisa dikonsumsi. Hal ini berbeda dengan minuman beralkohol. Seandainya
alkohol (etanol) murni atau alkohol kadar tinggi (di atas kadar enam puluh
persen) ingin dikonsumsi maka cuma ada dua kemungkinan, yaitu sakit perut atau
bahkan mati. Oleh karena itu, seringkali kita lihat bahwa alkohol kadar tinggi
(di atas enam puluh persen) hanya dipakai untuk luar tubuh dan tidak
dikonsumsi.
Jika sudah memahami hal ini,
pantaskah alkohol dihukumi sama dengan khamr, Tidak tepat pula jika dikatakan
bahwa alkohol adalah barang najis. Karena sudah ketahui sendiri bahwa alkohol bukanlah
khomr sehingga tidak bisa disamakan dengan miras (vodka, wiski dan lainnya).
Apalagi pendapat yang terkuat dari pendapat ulama yang ada, khamr tidaklah
najis.
Cairan beralkohol dan alkohol yang
digunakan untuk membersihkan luka (alkohol antiseptik) itu diperbolehkan.
Adapun Bir jika sedikit saja digunakan padahal kalau diminum banyak pasti
memabukkan, maka tidak boleh digunakan. Adapun jika Bir itu bebas dari alkohol,
maka kita kembalikan pada hukum asal minuman yaitu halal.
Berdasarkan perbandingan serta
penjelasan diatas maka menggunakan alkohol untuk obat lebih dekat ke pendapat
yang membolehkan dengan beberapa alasan:
- Alkohol bukanlah khamr. Sedangkan yang dilarang dalam Alquran dan Al Hadis adalah khomr yaitu segala sesuatu yang memabukkan.
- Asal sesuatu itu adalah mubah, sebelum datang perintah yang mengharamkannya, alkohol adalah zat yang suci dan halal, Dan jikalau mau dikatakan alkohol itu termasuk khamr namun ini jelas kurang tepat.
- Alkohol berguna untuk antiseptik digunakan untuk luar tubuh, berbeda dengan khomr yang memang diproduksi untuk diminum (dikonsumsi).
- Alkohol untuk obat digunakan dalam keadaan darurat dan alkohol yang untuk antiseptik relatif aman bagi kulit.
Ingin punya uang banyak dengan modal kecil ?
BalasHapusGabung saja bersama kami. di POKER899 Menang berapapun pasti dibayar, Pelayanan baik dan cepat. Silahkan buktikan sendiri di POKER899!! Contact Person :
Pin BB : 55A84D38
WA : +855884660017
http://poker899.com/
ini tentang apa yaa ??
Hapus