RESUME FIQIH MUNAKAHAT
Kata nikah berasal dari bahasa arab
yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Nikah menurut
istilah syariat Islam adalah akad yang menghalalkan pergaulan antara laki -
laki dan perempuan yang tidak ada hubungan Mahram sehingga dengan akad tersebut
terjadi hak dan kewjiban antara kedua insan.
Pengertian Nikah secara
bahasa : kumpulan, bersetubuh, akad. secara syar’i : dihalalkannya seorang
lelaki dan untuk perempuan bersenangg-senang, melakukan hubungan seksual, dll .
Hubungan antara seorang laki - laki
dan perempuan adalah merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT
dan untuk menghalalkan hubungan ini maka disyariatkanlah akad nikah. Pergaulan
antara laki - laki dn perempuan yang diatur dengan pernikahan ini akan membawa
keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki - laki maupun
perempuan, bagi keturunan diantara keduanya bahkan bagi masyarakat yang berada
disekeliling kedua insan tersebut.
Berbeda dengan pergaulan antara laki
- laki dan perempuan yang tidak dibina dengan sarana pernikahan akan membawa
malapetaka baik bagi kedua insan itu, keturunannya dan masyarakat
disekelilingnya. Pergaulan yang diikat dengan tali pernikahan akan membawa
mereka menjadi satu dalam urusan kehidupan sehingga antara keduanya itu dapat
menjadi hubungan saling tolong menolong, dapat menciptkan kebaikan bagi
keduanya dan menjaga kejahatan yang mungkin akan menimpa kedua belah pihak itu.
Dengan pernikahan seseorang juga akan terpelihara dari kebinasaan hawa
nafsunya.
Allah SWT berfirman dalam surat An -
Nisa Ayat 3 sebagai berikut :
Artinya: “Dan jika
kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang
kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.(Qs.
An-Nisaa: 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang
laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud
adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian,
tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga
menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat
tertentu.
B. HUKUM DAN
DALILNYA
Pada dasarnya Islam sangat
menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya
beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi
menjadi lima macam.
a.
Sunnah, bagi orang
yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan
nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
b.
Wajib, bagi orang
yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus
dalam perzinaan. Sabda Nabi Muhammad SAW :
“Hai golongan pemuda, barang
siapa diantara kamu yang cukup biaya maka hendaklah menikah. Karena
sesumgguhnya nikah itu enghalangi pandangan (terhadap yang dilarang oleh
agama.) dan memlihara kehormatan. Dan barang siapa yang tidak sanggup, maka
hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu adalah perisai baginya.” (HR Bukhari
Muslim).
c.
Makruh, bagi orang
yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan Karena tidak mampu memberikan
belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat. Firman Allah SWT :
“Hendaklah menahan diri orang -
orang yang tidak memperoleh (biaya) untuk nikah, hingga Allah mencukupkan
dengan sebagian karunia-Nya.” (An Nur / 24:33)
d.
Haram, bagi orang
yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia -
nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi
belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
e.
Mubah, bagi orang -
orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau
yang mengharamkannya.
C. SYARAT DAN RUKUN MUNAKAHAT
Rukun nikah ada lima macam, yaitu :
a.
Calon suami
Calon suami harus memenuhi syarat -
syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar pria
3) Tidak dipaksa
4) Bukan mahram calon istri
5) Tidak sedang ihram, haji, atau
umroh
6) Usia sekurang - kurangnya 19
Tahun
b. Calon
istri
Calon istri harus memiliki syarat -
syarat sebagai berikut :
1) Beragama Islam
2) Benar - benar perempuan
3) Tidak dipaksa,
4) Halal bagi calon suami
5) Bukan mahram calon suami
6) Tidak sedang ihram, haji, atau
umroh
7) Usia sekurang - kurangnya 16
Tahun
c. Wali
Wali harus memenuhi syarat - syarat
sebagi berikut :
1) Beragama Islam
2) Baligh (dewasa)
3) Berakal Sehat
4) Tidak sedang ihram, haji, atau
umroh
5) Adil (tidak fasik)
6) Mempunyai hak untuk menjadi wali
7) Laki – laki
d. Dua
orang saksi
Dua orang saksi harus memenuhi
syarat - syarat sebagai berikut :
1) Islam
2) Baligh
(dewasa)
3) Berakal
Sehat
4) Tidak
sedang ihram, haji, atau umroh
5) Adil (tidak
fasik)
6) Mengerti
maksud akad nikah
7) Laki – laki
Pernikahan yang dilakukan tanpa
saksi tidak sah. Sabda Nabi SAW:
“Tidak sah nikah melainkan dengan
wali dan dua orang saksi yang adil.” (Riwayat Ahmad.)
e. Ijab
dan Qabul
ZZ Allah dan kamu menghalalkan
mereka dengan kalimat Allah”. (HR. Muslim).
D. HIKMAH DAN TUJUAN NIKAH
1. Perkawinan
Dapat Menentramkan Jiwa
Dengan perkawinan orang dapat memenuhi
tuntutan nasu seksualnya dengan rasa aman dan tenang, dalam suasana cinta
kasih, dan ketenangan lahir dan batin. Firman Allah SWT :
Artinya: “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.(Qs.Ar-Ruum:21).
2. Perkawinan
dapat Menghindarkan Perbuatan maksiad.
Salah satu kodrat manusia adalah
penyaluran kodrat biologis. Dorongan biologis dalam rangka kelangsugan hidup
manusia berwujud nafsu seksual yang harus mendapat penyaluran sebagaimana
mestinya. Penyaluran nafsu seksual yang tidak semestinya akan menimbulkan
berbagai perbuatan maksiat, seperti perzinaan yang dapat megakibatkan dosa dan
beberapa penyakit yang mencelakakan. Dengan melakukan perkawinan akan terbuaka
jalan untuk menyalurkan kebutuhan biologis secara benar dan terhindar dari
perbuatan - pebuatan maksiad.
3. Perkawinan untuk Melanjutkan
Keturunan
Dalam surah An Nisa ayat 1
ditegaskan bahwa manusia diciptakan dari
yang satu, kemudian dijadika baginya
istri, dan dari keduanya itu berkembang biak menjadi manusia yang banyak,
terdiri dari laki - laki dan perempuan. Memang manusia bisa berkembang biak
tanpa melalui pernikahan, tetapi akibatnya akan tidak jelas asal usulnya /
jalur silsilah keturunannya. Dengan demikian, jelas bahwa perkawinan dapat
melestarikan keturunan dan menunjang nilai - nilai kemanusiaan.
Tujuan Nikah ditinjau dari:
TUJUAN FISIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi
:
a.
Tempat semua anggota keluarga
mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman.
b.
Tempat semua anggota keluarga
mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.
c.
Tempat suami-isteri dapat memenuhi
kebutuhan biologisnya.
TUJUAN
PSIKOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Tempat semua anggota keluarga
diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya.
b.
Tempat semua anggota keluarga
mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman.
c.
Tempat semua anggota keluarga
mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya.
d.
Basis pembentukan identitas, citra
dan konsep diri para anggota keluarga.
TUJUAN SOSIOLOGIS
Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi :
a.
Lingkungan pertama dan terbaik bagi
segenap anggota keluarga.
b.
Unit sosial terkecil yang
menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan
masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.
TUJUAN
DA’WAH Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi:
a.
Menjadi obyek wajib da’wah pertama
bagi sang da’i
b.
Menjadi prototipe keluarga muslim
ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim.
c.
Setiap anggota keluarga menjadi
partisipan aktif-kontributif dalam da’wah.
d.
Memberi antibodi/imunitas bagi
anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan Islam tidak mensyari’atkan
sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang
besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi
pelaksananya:
1.
Sarana pemenuh kebutuhan biologis
(QS. Ar Ruum : 21)
2.
Sarana menggapai kedamaian &
ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21)
3.
Sarana menggapai kesinambungan
peradaban manusia (QS. An Nisaa’ : 1, An Nahl : 72) Rasulullah berkata :
“Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan
membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi)
4.
Sarana untuk menyelamatkan manusia
dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)
E. PEMINANGAN (KHITBAH) SEBELUM
PELAKSANAAN PERNIKAHAN
1. Definisi Peminangan
Beberapa ahli Fiqih berbeda pendapat
dalam pendefinisian peminangan. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa
pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan
bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun
kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan
perwakilan wali.
Adapun Sayyid Sabiq, dengan
ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan
pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan
syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua
calon pengantin saling mengetahui.
Amir Syarifuddin
mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan
perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu
pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah.
Al-hamdani berpendapat
bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki kepada anak perempuan
orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk
dikawini, sebagai pendahuluan nikah.
Dari beberapa pendapat diatas, dapat
disimpulkan bahwa pinangan (khitbah) adalah proses permintaan atau
pernyataan untuk mengadakan pernikahan yang dilakukan oleh dua orang, lelaki
dan perempuan, baik secara langsung ataupun dengan perwalian. Pinangan
(khitbah) ini dilakukan sebelum acara pernikahan dilangsungkan.
2. Dasar dan Hukum Pinangan
Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia
pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya,”
Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat
membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi).
Dari Abu Hurairah R.A., dia
berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada
beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum
Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki
itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena
sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi
cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i).
Memang terdapat dalam al-qur’an dan
dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan
secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan,
sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik
dalam al-qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan
hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti
hukumannya mubah.
Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan
menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah
wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang
menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang
dilakukan nabi dalam peminangan itu.
3. Hikmah Peminangan
Ada beberapa hikmah dari prosesi
peminangan, diantaranya:
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Wadah perkenalan antara dua belah pihak yang akan melaksanakan pernikahan. Dalam hal ini, mereka akan saling mengetahui tata etika calon pasangannya masing-masing, kecendrungan bertindak maupun berbuat ataupun lingkungan sekitar yang mempengaruhinya. Walaupun demikian, semua hal itu harus dilakukan dalam koridor syariah. Hal demikian diperbuat agar kedua belah pihak dapat saling menerima dengan ketentraman, ketenangan, dan keserasian serta cinta sehingga timbul sikap saling menjaga, merawat dan melindungi.
Sebagai penguat ikatan perkawinan
ynag diadakan sesudah itu, karena dengan peminangan itu kedua belah pihak dapat
saling mengenal. Bahwa Nabi SAW berkata kepada seseorang yang telah meminang
perempuan:” melihatlah kepadanya karena yang demikian akan lebih menguatkan
ikatan perkawinan.
4.
Macam-Macam Peminangan
Ada beberapa macam peminangan, diantaranya
sebagai berikut:
a.
Secara langsung yaitu menggunakan
ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan
itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk
menikahimu.”
b.
Secara tidak langsung yaitu dengan
ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah.
Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti
pengucapan,”tidak ada orang yang tidak sepertimu.”
Perempuan yang belum kawin atau
sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan
langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak
langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji
akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya
dengan menggunakan bahasa terus terang tadi.
5. Hal-Hal yang Berkaitan dengan
Peminangan.
1. Norma Kedua Calon Pengantin
Setelah Peminangan.
Peminangan (khitbah) adalah proses
yang mendahului pernikahan akan tetapi bukan termasuk dari pernikahan itu
sendiri. Pernikahan tidak akan sempurna tanpa proses ini, karena peminangan
(khitbah) ini akan membuat kedua calon pengantin akan menjadi tenang akibat
telah saling mengetahui.
Oleh karena itu, walaupun telah
terlaksana proses peminangan, norma-norma pergaulan antara calon suami dan
calon istri masih tetap sebagaimana biasa. Tidak boleh memperlihatkan hal-hal
yang dilarang untuk diperlihatkan.
2.
Peminangan Terhadap Seseorang yang Telah Dipinang.
Seluruh ulama bersepakat bahwa
peminangan seseorang terhadap seseorang yang telah dipinang adalah haram. Ijma
para ulama mengatakan bahwa peminangan kedua, yang datang setelah pinangan yang
pertama, tidak diperbolehkan. Hal tersebut terjadi apabila:
a.
Perempuan itu senang kepada
laki-laki yang meminang dan menyetujui pinangan itu secara jelas (Sharahah)
atau memberikan izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b.
Pinangan kedua datang tidak dengan
izin pinangan pertama.
c.
Peminang pertama belum membatalkan
pinangan.
Hal ini sesuai dengan hadis nabi
yang berbunyi,” Janganlah kalian membeli sesuatu pembelian saudara kalian, dan
janganlah kalian meminang pinangan saudara kalian, kecuali dengan izinnya.”
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Seluruh imam bersepakat bahwa hadis diatas berlaku bagi pinangan yang telah sempurna. Hal tersebut terjadi agar tidak ada yang merasa sakit hati satu sama lain.
Adapun mengenai pinangan yang belum
sempurna, dengan pengertian masih menunggu jawaban, beberapa ulama berbeda
pendapat. Hanafiah mengatakan, pinangan terhadap seseorang yang sedang bingung
dalam menentukan keputusan adalah makruh. Hal ini bertentangan dengan pendapat
sebagian ulama yang mengatakan bahwa sesungguhnya perbuatan itu tidak haram.
Pendapat ini berdasarkan peristiwa Fatimah binti Qois yang dilamar oleh tiga
orang sekaligus, yaitu Mu’awiyah, Abu Jahim bin Huzafah dan Usamah bin Zaid.
Hal itu terjadi setelah selesainya masa iddah Fatimah yang telah ditalak oleh
Abu Umar bin Hafsin.
Walaupun demikian, pendapat Hanafi
lebih kuat landasannya karena sesuai dengan tata perilaku islam yang
mengajarkan solidaritas. Peminangan yang dilakukan terhadap seseorang yang
sedang bingung dalam mempertimbangkan keputusan lebih berdampak pada pemutusan
silaturrahim terhadap peminang pertama dan akan mengganggu psikologis yang
dipinang.
3.
Orang-Orang yang Boleh Dipinang.
Pada dasarnya, seluruh orang yang
boleh dinikahi merekalah yang boleh dipinang. Sebaliknya, mereka yang tidak
boleh untuk dinikahi, tidak boleh pula untuk dipinang. Dalam hal ini, ada
syarat agar pinangan diperbolehkan.
* Bukan Orang-Orang yang Dilarang
Menikahinya.
* Bukan Orang-Orang yang Telah
Dipinang Orang Lain.
* Tidak Dalam Masa ‘Iddah
4. Batas-Batas
yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama terbagi
menjadi empat bagian:
a.
Hanya muka dan telapak tangan.
Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa
muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan
ada kesuburan badannya.
b.
Muka, telapak tangan dan kaki.
Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
c.
Wajah, leher, tangan, kaki, kepala
dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali.
d.
Bagian-bagian yang berdaging.
Pendapat ini menurut al-Auza’i.
e.
Keseluruh badan. Pendapat ini
dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi
yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang.
5.
Waktu dan Syarat Melihat Pinangan
Imam Syafi’i berpendapat bahwa
seorang calon pengantin, terutama laki-laki, dianjurkan untuk melihat calon
istrinya sebelum pernikahan berlangsung. Dengan syarat bahwa perempuan itu
tidak mengetahuinya. Hal itu agar kehormatan perempuan tersebut terjaga. Baik
dengan izin atau tidak.
Imam Maliki dan Imam Hambali
mengatakan bahwa melihat pinangan adalah disaat kebutuhan mendesak. Itu
disebabkan agar tidak menimbulkan fitnah dan menimbulkan syahwat. Wahbah
Zuhaili mengatakan, pada dasarnya melihat pinangan itu diperbolehkan asalkan
tidak dengan syahwat.
F.
PELAKSANAAN PERNIKAHAN (AKAD NIKAH)
1. PENGERTIAN
AKAD NIKAH
secara bahasa : akad = membuat
simpul, perjajian, kesepakatan; akad nikah = mengawinkan wanita. secara syar’i
: Ikrar seorang pria untuk menikahi/mengikat janji seorang wanita lewat
perantara walinya, dengan tujuan
a)
hidup bersama membina rumah tangga
sesuai sunnah Rasulullah saw.
b)
memperoleh ketenangan jiwa.
c)
menyalurkan syahwat dengan cara yang
halal
d)
melahirkan keturunan yang sah dan
shalih.
2. RUKUN DAN
SYARAT SAH NIKAH
Akad nikah tidak akan sah kecuali jika terpenuhi
rukun-rukun yang enam perkara ini :
1.
Ijab-Qabul
Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam
menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan
mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihak. Al
Qur-an mengistilahkan ijab-qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang
kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat
nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua
pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai
pria-wanita
2. Adanya mempelai pria.
Syarat mempelai pria adalah :
a)
Muslim & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka); lihat QS. Al Baqarah : 21, Al Mumtahanah : 9.
b)
Bukan mahrom dari calon isteri.
c)
Tidak dipaksa.
d)
Orangnya jelas.
e)
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
3. Adanya
mempelai wanita.
Syarat mempelai wanita adalah :
a.
Muslimah (atau beragama samawi,
tetapi bukan kafirah/musyrikah) & mukallaf; lihat QS. Al Baqarah : 221, Al
Maidah : 5.
b.
Tidak ada halangan syar’i (tidak
bersuami, tidak dalam masa ‘iddah & bukan mahrom dari calon suami).
c.
Tidak dipaksa.
d.
Orangnya jelas.
e.
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
4. Adanya wali.
Syarat wali adalah :
a.
Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
b.
‘Adil
c. Tidak
dipaksa.
d.
Tidak sedang melaksanakan ibadah
haji.
Tingkatan dan urutan wali adalah sebagai berikut:
a.
Ayah
b.
Kakek
c.
Saudara laki-laki sekandung
d.
Saudara laki-laki seayah
e.
Anak laki-laki dari saudara laki –
laki sekandung
f.
Anak laki-laki dari saudara laki –
laki seayah
g.
Paman sekandung
h.
Paman seayah
i.
Anak laki-laki dari paman sekandung
j.
Anak laki-laki dari paman seayah.
k.
Hakim
5. Adanya saksi
(2 orang pria).
Meskipun semua yang hadir menyaksikan aqad nikah pada
hakikatnya adalah saksi, tetapi Islam mengajarkan tetap harus adanya 2 orang
saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut menjadi sah. Syarat
saksi adalah
a) Muslim laki-laki & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan melihat.
d) Tidak dipaksa.
e) Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab-qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan ibadah haji.
6. Mahar.
Beberapa ketentuan tentang mahar :
a.
Mahar adalah pemberian wajib (yang
tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik
sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah. Lihat QS. An Nisaa’ : 4.
b.
Mahar wajib diterimakan kepada
isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik mertua.
c.
Mahar yang tidak tunai pada akad
nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan.
d.
Mahar dapat dinikmati bersama suami
jika sang isteri memberikan dengan kerelaan.
e.
Mahar tidak memiliki batasan kadar
dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat
istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki
nilai dan bermanfaat. Rasulullah saw senang mahar yang mudah dan pernah pula
author, boleh saya tahu meresume dari buku apa ?
BalasHapustunggu saya cek dulu
BalasHapusjudul buku nya apa ni pak??
HapusIngin punya uang banyak dengan modal kecil ?
BalasHapusGabung saja bersama kami. di POKER899 Menang berapapun pasti dibayar, Pelayanan baik dan cepat. Silahkan buktikan sendiri di POKER899!! Contact Person :
Pin BB : 55A84D38
WA : +855884660017
http://poker899.com/